Mengenai Saya

Foto saya
Saya orang yang teguh dengan pendirian, tidak mudah putus asa, dan cinta keindahan.

Minggu, 17 April 2011

APRESIASI PROSA FIKSI "LAYAR TERKEMBANG"


Layar Terkembang merupakan roman St. Takdir Alisjahbana yang terpenting. St. Takdir Alisjahbana, salah satu pendiri majalah Poedjangga Baroe pada tahun 1933. Beliau menjadi pejuang bersemangat gerakan Pujangga Baru. Lahir di Natal tahun 1908. Layar Terkembang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka tahun 1937.  Novel ini menarik dan baik sekali untuk dibaca, bagi saya. Pada kata pengantar yang dibuat oleh Balai Pustaka buku ini tercatat sebagai buku wajib untuk bacaan sastra di Sekolah Menengah Pertama dan Atas. Karena itu Balai Pustaka mencetak ulang dan novel yang saya baca merupakan cetakan ke – 21 tahun 1992 dengan tebal buku 139 hal.
Novel ini mengisahkan tentang perjuangan wanita Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Wanita tersebut adalah putri Raden Wiriaatmaja bekas wedana di daerah Banten. Raden Wiriaatmaja tinggal di Jakarta bersama dengan dua orang anak gadisnya yang memiliki sifat sangat berbeda yaitu Tuti dan Maria. Anak pertamanya, Tuti adalah seorang gadis yang serius dan cenderung pendiam. Ia aktif diberbagai kegiatan wanita. Anak keduanya adalah Maria. Ia sangat lincah dan periang sehingga semua orang yang berada didekatnya pasti akan menyenangi kehadirannya. Kedua gadis itu bertemu dengan pria bernama Yusuf, seorang mahasiswa kedokteran. Yusuf ialah putra Demang Munaf di Martapura Sumatra Selatan. Sejak pertemuan itu Yusuf mulai jatuh hati kepada Maria. Hari berganti hari, antara Yusuf dan Maria terjalin hubungan yang spesial. Keduanya memutuskan untuk menikah. Namun, ajal menjeput Maria. Maria mengidap penyakit TBC dan malaria. Sebelum ajal datang, Maria berpesan agar Tuti dapat menerima Yusuf. Akhir cerita Tuti dan Yusuf bertunangan.
Novel yang bertemakan perjuangan wanita Indonesia. Latar atau setting tempat yang ada dalam novel ini yaitu gedung akuarium di pasar ikan, rumah wiriaatmaja di Jakarta, rumah Partadihardja, Gedung pemufakatan, Martapura di Sumatra Selatan, Jatinegara, dan rumah sakit di Pacet.
Kutipan latar atau setting tempat dalam novel ini :
“Mereka ialah anak Raden Wiriaatmaja, bekas wedana di daerah Banten, yang pada ketika itu hidup dengan pensiunnya di Jakarta bersama-sama kedua anaknya itu.”(St. Takdir Alisjahbana, 1937 : 7)
“Sekarang pada hari minggu, kedua bersaudara itu pergi melihat-lihat akuarium di Pasar Ikan.” (St. Takdir Alisjahbana, 1937 :7)
“Sudah sebulan lebih Maria di rumah sakit di Pacet.” (St. Takdir Alisjahbana, 1937 :111)

Sudut pandang orang ketiga yang digunakan oleh penulis. Ditandai dengan menggunakan nama dalam menyebut  tokoh-tokohnya dan kata sapaan seperti Zus. Zus dalam kamus Bahasa Indonesia artinya adalah panggilan akrab untuk wanita. Namun penggunaan kata zus sekarang ini sudah tidak terdengar digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Alur cerita dalam novel ini menggunakan alur maju. Alur cerita yang membuat kecewa karena Maria akhirnya meninggal dunia namun bahagia karena Tuti telah berubah. Cerita yang dapat menghadirkan berbagai perasaan pada diri pembaca. Saya pun ikut terhanyut didalamnya. Novel ini benar-benar mengundang emosi yang berbeda di kalangan pembaca. Klimaks cerita yaitu saat Maria memberikan pesan agar Yusuf menikahi Tuti. Tanpa disadari air mata saya pun menetes. Bagi saya, kisah ini sangat mengharukan.
Kutipan klimaks cerita dalam novel ini :
“Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya tidaklah rela selama-lamanya, kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain.” (St. Takdir Alisjahbana, 1937 : 135)


 Amanat atau pesan penulis yang tertuang dalam novel ini yaitu tentang eksistensi wanita di era itu. Gaya penulisan didalam novel ini banyak ditemukan gaya bahasa/ majas personifikasi dan lain-lain. Ditemukan pula banyak menggunakan bahasa Melayu serta penggunaan ejaan lama.
Kutipan penggunaan gaya bahasa/ majas yang ada dalam novel ini :
“Bangsa kita haus akan pengajaran dan sebenarnya berbahagialah orang yang dapat serta membantu mempersembahkan air kepada berjuta-juta yang kehausan itu…” (St.Takdir Alisjahbana, 1937 : 20)
“Bulan serupa sisir tersipu-sipu dibalik awan yang tipis dan seluruh alam kekabur-kaburan rupanya.”  (St. Takdir Alisjahbana, 1937 : 94)

Kutipan penggunaan bahasa Melayu dan ejaan lama dalam novel ini :
“Masuk seperindukan, tujuh orang anak-beranak.” (St. Takdir Alisjahbana, 1937 :9)
“Bulan ini mereka tiada menerima sesen jua pun, sebab kas sekosong-kosongnya.” (St. Takdir Alisjahbana, 1937 : 92)
Dalam pada itu pemuda itu telah asik bercakap-cakap pula dengan teman-temannya.” (St. Takdir Alisjahbana, 1937 : 13)
“Berapa buah buku telah dibacanya dan sebahagian besar dari pidatonya selesai.” (St. Takdir Alisjahbana, 1937 : 13)

            Novel dengan judul Layar Terkembang , ternyata didalamnya juga terdapat nama judul tersebut. Walaupun bukan maksud sebenarnya. Berikut kutipannya :
“Dihadapan kuala takjub mereka melihat sebuah mayang nelayan yang pulang dari tengah dengan layar terkembang, indah berukir berwarna-warna buritan dan haluannya.” ( St. Takdir Alisjahbana, 1937 : 102)


Banyak nasihat yang dapat diambil dari novel ini yaitu tentang berbakti kepada orang tua, guru adalah pekerjaan yang baik, ibadah jangan sampai ditinggalkan, kedudukan antara lelaki dan perempuan, istri harus berbakti kepada suami dan masih banyak lagi. Catatan kaki yang ada dalam novel ini juga sangat membantu pembaca. Seperti pada halaman awal jurk dari bahasa Belanda yang artinya pakaian wanita Eropa. Berbicara mengenai penulis yaitu St. Takdir Alisjahbana yang pada waktu itu sangat pro dengan Barat. Sehingga menyebabkan munculnya polemik kebudayaan Timur – Barat.




SEBUAH APRESIASI PROSA FIKSI


Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kelahiran tahun 1925 tepatnya di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Seorang sastrawan yang sudah tak asing lagi kudengar. Salah satu karyanya berjudul “ Sekali Peristiwa di Banten Selatan”. Sebuah novel yang tercipta dari hasil kunjungannya di wilayah Banten Selatan. Beliau telah banyak menghasilkan karya  sastra. Bagi saya, beliau memang pantas mendapat pelbagai penghargaan. Karena karyanya banyak mengandung nasihat dan banyak beroleh manfaat usai membacanya. Pramoedya Ananta Toer, pernah merasakan hidup di hotel prodeo. Bukan alasan baginya untuk tidak berkarya, beliau tetap berkarya. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Yang tertera pada lembar pertama, paragraf kedua  dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
            Semangat ! Satu kata yang terucap ketika saya usai membaca novel ini. Novel “Sekali Peristiwa di Banten Selatan” karya Pramoedya Ananta Toer, yang berjumlah 126 halaman mampu memberikan motivasi tersendiri bagi saya. Novel ini sangat menarik. Karena beberapa tokoh yang ada dalam cerita ini benar adanya. Dapat dilihat pada kata pengantar. Orang-orang yang pernah berbagi cerita tentang suka duka perkembangan daerahnya kepada Pramoedya. Walaupun terdapat beberapa segi cerita yang tidak terjadi di Banten Selatan, itu tak menjadi masalah bagiku. Selain itu desain sampulnya juga sesuai dengan cerita novel tersebut.
            Novel yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat di Banten Selatan. Daerah yang subur tetapi kesuburan tanah tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Karena memudarnya tradisi gotongroyong. Masyarakatnya banyak yang tidak bisa membaca dan menulis. Kemelut daerah itu akibat pemberontak “Darul Islam.” Tokoh utama dalam novel ini bernama Ranta. Ia hidup bersama dengan istrinya Ireng dan anaknya yang sedang sakit. Namun, akhirnya mereka berdua harus merelakan kepergian anaknya. Ranta tinggal bersama istrinya dalam sebuah gubug yang terletak di kaki gunung. Kehidupan yang sangat kejam. Rakyat miskin ditindas oleh pemberontak “Darul Islam” salah satunya yaitu juragan Musa. Tetapi berkat keberanian seorang tokoh bernama Ranta, para pemberontak pun dapat disingkirkan. Ia sebagai lurah memberikan semangat pada rakyat untuk bersatu dalam semangat gotongroyong. Akhir cerita, Ranta dan istrinya juga seluruh rakyat bergembira merasakan hasil kerjasama antara mereka.
            Dalam novel ini, Ranta yang baik hati dan peduli terhadap sesama sebagai tokoh protagonis sedangkan tokoh antagonisnya yakni juragan Musa yang kasar, licik dan jahat. Alur campuran yang digunakan oleh penulis dalam karyanya ini. Cerita bermula dari awal, kemudian pada halaman 38 baris ke 16 yang menunjukan keterangan waktu magrib pun tiba (maju) tetapi pada halaman 40 menujukan keterangan siang hari menjelang dzuhur (mundur) dan pada halaman 74 menunjukan waktu jam tujuh pagi sekarang (maju).Selain itu juga terlihat pada kutipan berikit ini :
Rumah Ranta hilang lenyap dari muka bumi. (Pramoedya Ananta Toer, 2004  : 39)
Rumahnya terkunci, Juragan. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 47)
 Yang dimaksud rumahnya terkunci adalah rumah Ranta, padahal dihalaman sebelumnya rumah Ranta sudah hancur dibakar. Setting tempat dalam novel ini di Banten Selatan. Penggunaan bahasa dalam percakapan menggunakan bahasa Indonesia juga sedikit menggunakan bahasa daerah. Terlihat pada kutipan berikut :
Menginap sini saja. Minta izin, ge! ( Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 21) Maaf , Mpok, begitu kami rebah, begitu tertidur. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 :23) Abdi dengar, Pak Lurah. Tapi abdi lebih percaya pada kebenaran. ( Pramoedya Ananta Toer. 2004 : 77) Abdi, mah, sudah terlalu tua, Pak? (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 122)

Ge! mah, tea, tah dan lain-lain biasa dipakai dalam bahasa daerah. Tetapi juga sering diucapkan bercampur dengan bahasa Indonesia. Berbicara masalah ini, seolah mengingatkan saya ketika berjumpa dengan seorang linguis yaitu bapak Kridalaksana yang membahas tentang ungkapan patis dalam kegiatan seminar memperingati bulan bahasa tahun 2009. Mpok dalam bahasa Betawi artinya kakak perempuan dan abdi dalam bahasa sunda artinya saya. Selanjutnya terdapat pula kata yang berkonotasi negatif seperti laki, bini, budek yang diucapkan oleh tokoh antagonis. Tetapi kata laki dan bini bagi masyarakat Betawi adalah sesuatu yang biasa. Begitu juga pada kata budek bagi masyarakat yang menggunakan bahasa sunda kasar itu sudah biasa. Lihat pada kutipan dibawah ini:
 Reng, Ireng! Mana Lakimu! (15) Jadi binimu juga gagal. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 :18) Li! Budek? Li! Cepat! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 43)
Penulis banyak menggunakan gaya bahasa sarkasme. Tentunya bahasa-bahasa yang terselip dalam cerita ini mencerminkan bahasa yang digunakan oleh masyarakat daerah Banten Selatan. Seperti pada kutipan berikut :
Goblog! Apa perlunya otak dalam kepalamu itu! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 18), Setan kranjingan ! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 38), Persetan! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 44), Setan sialan! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 45)
Nama seseorang biasanya identik dengan tempat kelahirannya atau daerah asalnya. Orang jawa biasanya pada akhir nama menggunakan huruf O bagi laki-laki seperti Susilo, Susanto dan orang sunda seperti Asep, Dadang, Ujang dan lain-lain. Walaupun tidak semuanya demikian. Berbicara tentang nama, terdapat . nama tokoh Rodjali seperti nama orang sunda. Mengenai agama yang dianut oleh masyarakat di Banten Selatan jelas tergambar dalam novel ini. Yang mencirikan sebagai pemeluk agama Islam. Sehingga mengandung nilai-nilai yang dapat memperkaya kehidupan rohani. Seperti pada kutipan berikut :
 Insya Allah, Pak. Kita sudah cukup bekerja- kita berdua. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 19) Ya Allah, selamatkan dia dari bencana dan dosa. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 22)
Tidak semua novel memperlihatkan situasi yang berhubungan dengan masalah keagamaan, namun pada novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan justru benar-benar ditunjukan. Mungkin karena mayoritas masyarakat Banten Selatan beragama Islam dan cerita ini benar-benar pernah terjadi berdasarkan pengakuan orang-orang yang ditemui oleh penulis. Seperti menggunakan keterangan waktu shalat fardu.   
Magrib pun tiba. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 38) Dari jarak yang tak jauh terdengar beduk ashar bertalu-talu. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 :95)
            Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan banyak mengandung nasihat. Diantaranya terlihat pada kutipan berikut :
Aku percaya, tiap pemuda Indonesia bisa lakukan segala perjuangan dan pekerjaan kalau dia mau. (103)
Dengan persatuan dan gotongroyong semua bisa dilaksanakan. (105) 
Dengar! Kepintaran harus dicari sendiri. Tak ada orang bisa jadi pandai dengan mewakilkan kepada orang lain. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 120)
Terdapat nilai kebermaknaan terhadap kehidupan. Lurah Ranta, simbol pemimpin yang berasal dari rakyat dan pro rakyat. Lewat karyanya mungkin penulis menginginkan masyarakat impiannya. Agar para pemimpin di Indonesia ini dapat mencontoh tokoh utama dalam novel ini. Wakil rakyat seharusnya merakyat. Amanat yang disampaikan dalam novel ini ialah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Maka dari itu tanamkan dalam hati semangat gotongroyong.