Mengenai Saya

Foto saya
Saya orang yang teguh dengan pendirian, tidak mudah putus asa, dan cinta keindahan.

Minggu, 17 April 2011

SEBUAH APRESIASI PROSA FIKSI


Pramoedya Ananta Toer, sastrawan kelahiran tahun 1925 tepatnya di Blora, Jawa Tengah, Indonesia. Seorang sastrawan yang sudah tak asing lagi kudengar. Salah satu karyanya berjudul “ Sekali Peristiwa di Banten Selatan”. Sebuah novel yang tercipta dari hasil kunjungannya di wilayah Banten Selatan. Beliau telah banyak menghasilkan karya  sastra. Bagi saya, beliau memang pantas mendapat pelbagai penghargaan. Karena karyanya banyak mengandung nasihat dan banyak beroleh manfaat usai membacanya. Pramoedya Ananta Toer, pernah merasakan hidup di hotel prodeo. Bukan alasan baginya untuk tidak berkarya, beliau tetap berkarya. Baginya, menulis adalah tugas pribadi dan nasional. Yang tertera pada lembar pertama, paragraf kedua  dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan.
            Semangat ! Satu kata yang terucap ketika saya usai membaca novel ini. Novel “Sekali Peristiwa di Banten Selatan” karya Pramoedya Ananta Toer, yang berjumlah 126 halaman mampu memberikan motivasi tersendiri bagi saya. Novel ini sangat menarik. Karena beberapa tokoh yang ada dalam cerita ini benar adanya. Dapat dilihat pada kata pengantar. Orang-orang yang pernah berbagi cerita tentang suka duka perkembangan daerahnya kepada Pramoedya. Walaupun terdapat beberapa segi cerita yang tidak terjadi di Banten Selatan, itu tak menjadi masalah bagiku. Selain itu desain sampulnya juga sesuai dengan cerita novel tersebut.
            Novel yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat di Banten Selatan. Daerah yang subur tetapi kesuburan tanah tersebut belum dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Karena memudarnya tradisi gotongroyong. Masyarakatnya banyak yang tidak bisa membaca dan menulis. Kemelut daerah itu akibat pemberontak “Darul Islam.” Tokoh utama dalam novel ini bernama Ranta. Ia hidup bersama dengan istrinya Ireng dan anaknya yang sedang sakit. Namun, akhirnya mereka berdua harus merelakan kepergian anaknya. Ranta tinggal bersama istrinya dalam sebuah gubug yang terletak di kaki gunung. Kehidupan yang sangat kejam. Rakyat miskin ditindas oleh pemberontak “Darul Islam” salah satunya yaitu juragan Musa. Tetapi berkat keberanian seorang tokoh bernama Ranta, para pemberontak pun dapat disingkirkan. Ia sebagai lurah memberikan semangat pada rakyat untuk bersatu dalam semangat gotongroyong. Akhir cerita, Ranta dan istrinya juga seluruh rakyat bergembira merasakan hasil kerjasama antara mereka.
            Dalam novel ini, Ranta yang baik hati dan peduli terhadap sesama sebagai tokoh protagonis sedangkan tokoh antagonisnya yakni juragan Musa yang kasar, licik dan jahat. Alur campuran yang digunakan oleh penulis dalam karyanya ini. Cerita bermula dari awal, kemudian pada halaman 38 baris ke 16 yang menunjukan keterangan waktu magrib pun tiba (maju) tetapi pada halaman 40 menujukan keterangan siang hari menjelang dzuhur (mundur) dan pada halaman 74 menunjukan waktu jam tujuh pagi sekarang (maju).Selain itu juga terlihat pada kutipan berikit ini :
Rumah Ranta hilang lenyap dari muka bumi. (Pramoedya Ananta Toer, 2004  : 39)
Rumahnya terkunci, Juragan. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 47)
 Yang dimaksud rumahnya terkunci adalah rumah Ranta, padahal dihalaman sebelumnya rumah Ranta sudah hancur dibakar. Setting tempat dalam novel ini di Banten Selatan. Penggunaan bahasa dalam percakapan menggunakan bahasa Indonesia juga sedikit menggunakan bahasa daerah. Terlihat pada kutipan berikut :
Menginap sini saja. Minta izin, ge! ( Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 21) Maaf , Mpok, begitu kami rebah, begitu tertidur. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 :23) Abdi dengar, Pak Lurah. Tapi abdi lebih percaya pada kebenaran. ( Pramoedya Ananta Toer. 2004 : 77) Abdi, mah, sudah terlalu tua, Pak? (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 122)

Ge! mah, tea, tah dan lain-lain biasa dipakai dalam bahasa daerah. Tetapi juga sering diucapkan bercampur dengan bahasa Indonesia. Berbicara masalah ini, seolah mengingatkan saya ketika berjumpa dengan seorang linguis yaitu bapak Kridalaksana yang membahas tentang ungkapan patis dalam kegiatan seminar memperingati bulan bahasa tahun 2009. Mpok dalam bahasa Betawi artinya kakak perempuan dan abdi dalam bahasa sunda artinya saya. Selanjutnya terdapat pula kata yang berkonotasi negatif seperti laki, bini, budek yang diucapkan oleh tokoh antagonis. Tetapi kata laki dan bini bagi masyarakat Betawi adalah sesuatu yang biasa. Begitu juga pada kata budek bagi masyarakat yang menggunakan bahasa sunda kasar itu sudah biasa. Lihat pada kutipan dibawah ini:
 Reng, Ireng! Mana Lakimu! (15) Jadi binimu juga gagal. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 :18) Li! Budek? Li! Cepat! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 43)
Penulis banyak menggunakan gaya bahasa sarkasme. Tentunya bahasa-bahasa yang terselip dalam cerita ini mencerminkan bahasa yang digunakan oleh masyarakat daerah Banten Selatan. Seperti pada kutipan berikut :
Goblog! Apa perlunya otak dalam kepalamu itu! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 18), Setan kranjingan ! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 38), Persetan! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 44), Setan sialan! (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 45)
Nama seseorang biasanya identik dengan tempat kelahirannya atau daerah asalnya. Orang jawa biasanya pada akhir nama menggunakan huruf O bagi laki-laki seperti Susilo, Susanto dan orang sunda seperti Asep, Dadang, Ujang dan lain-lain. Walaupun tidak semuanya demikian. Berbicara tentang nama, terdapat . nama tokoh Rodjali seperti nama orang sunda. Mengenai agama yang dianut oleh masyarakat di Banten Selatan jelas tergambar dalam novel ini. Yang mencirikan sebagai pemeluk agama Islam. Sehingga mengandung nilai-nilai yang dapat memperkaya kehidupan rohani. Seperti pada kutipan berikut :
 Insya Allah, Pak. Kita sudah cukup bekerja- kita berdua. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 19) Ya Allah, selamatkan dia dari bencana dan dosa. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 22)
Tidak semua novel memperlihatkan situasi yang berhubungan dengan masalah keagamaan, namun pada novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan justru benar-benar ditunjukan. Mungkin karena mayoritas masyarakat Banten Selatan beragama Islam dan cerita ini benar-benar pernah terjadi berdasarkan pengakuan orang-orang yang ditemui oleh penulis. Seperti menggunakan keterangan waktu shalat fardu.   
Magrib pun tiba. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 38) Dari jarak yang tak jauh terdengar beduk ashar bertalu-talu. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 :95)
            Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan banyak mengandung nasihat. Diantaranya terlihat pada kutipan berikut :
Aku percaya, tiap pemuda Indonesia bisa lakukan segala perjuangan dan pekerjaan kalau dia mau. (103)
Dengan persatuan dan gotongroyong semua bisa dilaksanakan. (105) 
Dengar! Kepintaran harus dicari sendiri. Tak ada orang bisa jadi pandai dengan mewakilkan kepada orang lain. (Pramoedya Ananta Toer, 2004 : 120)
Terdapat nilai kebermaknaan terhadap kehidupan. Lurah Ranta, simbol pemimpin yang berasal dari rakyat dan pro rakyat. Lewat karyanya mungkin penulis menginginkan masyarakat impiannya. Agar para pemimpin di Indonesia ini dapat mencontoh tokoh utama dalam novel ini. Wakil rakyat seharusnya merakyat. Amanat yang disampaikan dalam novel ini ialah bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Maka dari itu tanamkan dalam hati semangat gotongroyong.
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar